faesal blog

faesal blog

Home

Rabu, 14 Juli 2010

Antara Seyera, Cava, dan Revolusi

Bendera itu dibentangkan di antara senyum bahagia dua orang, Xavi Hernandez dan Carles Puyol. Bukan bendera Spanyol yang mereka kibarkan di Soccercity. Malam itu, di dalam calabas yang disaksikan oleh jutaan umat manusia, ketika para pemain Spanyol lainnya mengarak trofi Piala Dunia pertama untuk negaranya, mereka berdua melambaikan Senyera. Bendera bercorak garis merah kuning simbol bangsa Catalonia. Tentu saja wartawan tak ingin melewatkan momen unik ini. Hujan blitz.
Beberapa orang yang tak mengerti mungkin akan bertanya-tanya, mengapa bukan bendera Spanyol yang mereka bawa?


Pada Mulanya Franco. Ketika rezim fasis Spanyol berkuasa di tahun 1930-an, Jendral Franco yang diktator melarang penggunaan bendera Provinsi Catalonia. Orang Catalonia terdiri dari suku bangsa Catalan serta Basque. Bahasa daerah Catalan tidak boleh digunakan semasa itu.
Sepak bola adalah olahraga yang besar di Spanyol. Seperti yang terjadi dalam pemerintahan diktaktor pada umumnya, olah raga adalah alat propaganda yang baik untuk mempromosikan kekuasaan. Sang jendral yang bengis paham akan hal itu.
Suatu hari di tahun 1936, lewat kekuatan militer ia membunuh Josep Sunol, Presiden Republik Barcelona waktu itu, pada  1936. Tragedi ini menimbulkan sentimen primordial yang mendalam antara pemerintahan pusat Spanyol dengan wilayah Catalonia.
Dua tahun berikutnya rezim fasis menjatuhkan bom di markas FC Barcelona Social Club. Tepatnya pada Maret 1938, yang mengakibatkan kerusakan serius pada fasilitas sepak bola klub kebanggaan warga Catalan ini. Meskipun sejak saat itu jumlah penggemar klub anjlok, warga Catalan semakin mencintai FC Barcelona. Tidak semata karena rasa cinta kepada sepak bola, empati telah menjadikan klub sebagai simbol perlawanan kepada pemerintah.
Orang Catalonia tidak akan pernah lupa pada hari paling buruk dalam sejarah sepak bola mereka. Franco yang belum puas merusak persepakbolaan Barcelona, turut campur urusan di dalam lapangan. Juni, tahun 1943, ketika para pemain Barcelona di bawah ancaman militer diinstruksikan untuk mengalah dari Real Madrid, klub yang bermarkas di ibu. Jika Barcelona menjadi symbol perlawanan daerah, maka Real Madrid lah simbol pemerintahan pusat dan menjadi kesebelasan kesayangan Franco.
Gawang Barcelona pun kemasukan 11 gol ketika. Pemain Barcelona memang marah dan geram, namun serba salah. Sebagai ungkapan protes, Barcelona menyarangkan sebiji gol ke gawang lawan sehingga skor akhir menjadi 11-1. Satu gol ini ternyata membuat Franco murka dan berbuntut panjang. Sebuah tuduhan telah mengatur pertandingan dilayangkan kepada kiper Barcelona. Hukuman dilarang bermain sepakbola seumur hidup harus diterima oleh sang kiper. Rasa sakit hati atas perlakuan ini seakan-akan merubah FC Barcelona, simbol perlawanan Catalonia, menjelma menjadi simbol anti-Franco.
Sejak saat itu, siapapun pelatihnya, dan gaya yang dipakai Barcelona, karakternya adalah menyerang. Barcelona pantang bermain bertahan. Bertahan bagi Barcelona berarti takut. Ia tidak hanya menyerang, namun juga menghibur, anti sepakbola negatif, dan sangat produktif. Pada masa-masa itulah dimulainya sejarah laga paling akbar antar klub di Spanyol dan di dunia, El Clasico, FC Barcelona melawan Real Madrid, hingga kini.
Khutbah
“We dedicate this victory to Spain,” ujar Xavi kepada wartawan usai memenangkan pertandingan melawan Jerman di semi final. Seketika ada semacam emosi Spanyol yang satu. Namun tidak untuk warga Catalonia. Karena dua hari berikutnya, di tanah Catalan, kurang lebih sejuta orang berkumpul menuntut otonomi khusus kepada pemerintah.
Hingga pada 11 Juli ketika begitu banyak bendera Spanyol berkibar di Catalonia. Ketika timnas Spanyol menjadi yang terbaik di dunia, kostum nasional ramai-ramai dipakai, padahal biasanya menjadi hal yang tabu. Banyaknya punggawa Barcelona di timnas menjadikan hal ini mungkin terjadi. Iniesta, Xavi, Busquets, Pique, Pedro, Villa dan Puyol. Merekalah itu yang memaksa jutaan orang Catalonia sejenak merasa menjadi orang Spanyol. Patriotisme, entah sejati atau hanya semu, bisa muncul tiba-tiba. Inilah cara revolusi santun ala sepakbola.
Momen ini tidak layak luput dari pemimpin pemerintahan. Sang Perdana Menteri menemukan cara dramatis dalam saat-saat berharga ini. Ia memilih merayakan kemenangan dengan meminum anggur khas Catalan, cava. “Hari ini, kita mengangkat segelas cava, dan air mata saya menetes-netes. Ini bukan momen yang umum, karena biasanya saya sangat pandai mengontrol emosi,” kata Jose Luis Rodrigues Zapatero.

Setiap pecinta sepak bola (indah) tentu senang dengan kemenangan Spanyol. Mereka tidak hanya memenangkan negaranya, tapi juga memenangkan, kalau boleh dikatakan,  ideologi sepak bola indah.
Di saat beberapa tim unggulan mengalami ”stroke” ringan akan ideologi sepak bolanya, Spanyol tetap menjunjung tinggi sepak bola yang menawan, menghibur, dan tidak pernah negatif. Ketika sepak bola tengah mengalami demam pragmatisme dan hitung-hitungan para efektivitas dan efisiensi macam ekonom, Spanyol tetap teguh.
Keteguhan itu yang mereka tampilkan di partai final melawan Belanda yang pragmatis dan keras. Gol tunggal Iniesta di empat menit terakhir perpanjangan waktu memperpanjang trauma Belanda. Tiga kali menapak final, tiga kali pula mereka gagal. Takdir yang paling dekat memang seketika bisa menjadi yang paling jauh.
Barang kali yang tersisa memang hanya pesan tentang keteguhan. Ketika Argentina harus kalah kepada Jerman di perempat final, orang mudah menerka bagaimana sakitnya hati seorang Diego Armando Maradona. Namun orang tetap kesulitan menerka, apakah filsafat sepak bola Maradona akan berganti? Sepak bola memang bukan agama. Namun Spanyol, ia seperti berkhutbah, tetaplah beriman kepada sepak bola indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar